12 February 2013

Manggisku Sayang, Manggisku Malang

Paling tidak ada dua hal yang istimewa dari buah manggis, buat saya tentunya. Pertama, adalah karena melihatnya selalu mengingatkan saya pada waktu kecil dulu semasa hidup di kampung halaman kakek tercinta (almarhum). Buah manggis saya makan dengan terlebih dulu memetik langsung dari pohonnya pada musim berbuah. Kenangan masa kecil itu sungguh manis dan terus menempel dalam benak hingga sekarang.

Kedua, adalah karena manggis disebut dalam pewayangan sebagai lambang kejujuran. Ada penanda jumlah isi buah manggis di bagian luar kulitnya, dan jumlah yang 'tertera' tidak akan pernah meleset dari jumlah sebenarnya yang ada didalam. Sungguh istimewa makna filosofinya, dan sungguh hebat para pujangga yang mengambil buah manggis sebagai siloka.

Kedua hal diatas sudah sangat istimewa, tapi bukan itu saja yang 'memaksa' saya menulis malam ini. Hal lainnya justru lebih menarik untuk dibincangkan.

foto: obatmanggis.com
Kabar bahwa manggis Puspahiang Tasik dapat menembus pasar ekspor ke China dengan volume seratus hingga dua ratus ton per harinya, dengan nilai sekitar 1,2 sampai dengan 2,4 milyar rupiah, wah... itu adalah berita yang sangat membanggakan. Sayang, data tersebut terselip dalam sebuah berita sedih tentang busuknya manggis-manggis yang batal diekspor, seperti dilansir kabar-priangan.com. Ratusan ton buah manggis kualitas ekspor membusuk! Masya Allah...

Manggis kita ditolak sepihak oleh importir Cina! Mengingat bahwa mata rantai penjualan manggis ke China melibatkan banyak pelakon, maka pastilah kerugian yang timbul tidak hanya menyangkut beberapa gelintir orang saja. Dan ancaman kerugian akan terus berlanjut untuk musim-musim berikutnya, jika tidak ada pasar baru yang dibuka untuk manggis Tasik.

Konon, manggis Tasik rontok dalam persaingan melawan manggis Thailand. Ya, lagi-lagi Thailand meraja dengan produk pertaniannya. Secara logika, memang ongkos kirim manggis dari Thailand akan lebih murah dibanding dari Indonesia, jika menuju tempat yang sama (China), dan hukum bisnis akan secara sadis memutus peluang pendapatan para eksportir manggis negeri kita. Lebih dari itu, buah produksi Thailand memang bejibun di pasaran, hingga membuat kita malu karena negeri yang besar ini ternyata sangat lemah menahan serbauan buah dari Negeri Gajah Putih tersebut.

Jawaban sederhananya mungkin pembukaan pasar baru, dan itu sudah diusahakan. Mereka, para pelaku bisnis manggis, mencoba mengedarkan buah tersebut di pasar lokal, dengan harga kurang dari setengah harga jual ke luar negeri. Harga jual ekspor Rp. 12.000 per kg, sementara harga jual dalam negeri hanya Rp. 5.000/kg. Jawaban lainnya mungkin berupa pengolahan untuk meningkatkan nilai produk, sehingga petani dan pedagang memperoleh hasil yang lebih baik.

Ah, urusan alternatif penanganan hasil panen buah manggis lebih baik diserahkan pada ahlinya. Sudah banyak professor dan doktor yang lebih pakar soal urusan itu. Mungkin urusan kita adalah meningkatkan kepedulian terhadap produksi anak negeri, hasil bumi petani sendiri dan mencari bekal untuk mampu membeli :)


No comments: